Beberapa waktu belakangan ini, marak kasus bullying di berbagai wilayah indonesia khususnya kasus yang terjadi mencakup lingkungan pendidikan.
Siswa dan siswi yang seharusnya belajar mengenyam pendidikan dengan tenang dan kondusif, namun terganggu aktivitasnya karena tindakan-tindakan yang menghalangi bahkan merugikan mereka.
Tindakan-tindakan yang menghalangi bahkan merugikan siswa dan siswi tersebut dilakukan oleh para pelaku kasus bullying yang mereka lakukan secara sadar ataupun tanpa mereka sadari.
Tentu kasus seperti ini bukanlah hal yang baru terjadi di indonesia, mari kita simak 2 penjelasan dari para ahli.
1. Dan Olweus (1973)
Seorang psikolog berkewarganegaraan Swedia – Norwegia yang pertama kali memperkenalkan kepada dunia mengenai konsep bullying, ia melakukannya pada tahun 1973.
Menurut Dan Olweus, kasus bullying merupakan tindakan agresif juga negatif yang menyebabkan korban merasa tidak nyaman bahkan mengalami luka-luka.
Pelaku melakukannya secara berulang kali sehingga korban tak memiliki daya upaya melawan karena adanya ketimpangan atau tidak seimbang baik kekuasaan atau fisik dan lainnya antara pelaku dan korban.
2. Inu Wicaksana (2008)
Seorang psikiater sekaligus dokter spesialis kejiwaan yang berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah menjelaskan dalam bukunya berjudul, “Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa” yang dipublikasikan pada tahun 2008.
Menurut Inu Wicaksana, kasus bullying merupakan tindakan kekerasan baik secara fisik dan secara psikologis yang dilakukan berulang-ulang kali oleh seseorang ataupun kelompok.
Mereka (para pelaku) melakukannya kepada orang yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri dalam sebuah situasi dimana ada hasrat untuk menyakiti atau menakut-nakuti orang tersebut sehingga membuatnya tertekan.
Sanksi bagi para pelaku kasus bullying
Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak beserta perubahannya, kasus bullying merupakakan suatu tindak pidana yang diatur dalam pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Jika dilanggar, maka pelaku terjerat pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang meliputi :
- Pelaku terjerat pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau dikenakan denda paling banyak sebesar Rp. 72.000.000 (tujuh puluh dua juta rupiah).
- Jika anak sebagai korban mengalami luka berat, maka pelaku terjerat pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau dikenakan denda paling banyak sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Baca Juga : Sudah Tahu Tapera? Penjelasan, Dasar Hukum & Pesertanya
